Konflik Israel-Gaza: Mengapa Kekerasan Kembali Membara?

by Jhon Lennon 56 views

Guys, dunia kembali tertuju pada konflik Israel dan Gaza, dengan pertanyaan besar yang menggantung: kenapa Israel kembali menyerang Gaza? Pertanyaan ini sering muncul setiap kali eskalasi kekerasan terjadi, dan jawabannya sendiri tidaklah sederhana. Ini adalah isu yang kompleks, berakar dari sejarah panjang, perebutan wilayah, dan ketidaksepakatan politik yang mendalam. Mari kita coba kupas tuntas apa saja faktor-faktor yang mendorong terjadinya serangan Israel ke Gaza, agar kita bisa lebih paham duduk perkaranya.

Pada dasarnya, serangan Israel ke Gaza seringkali dipicu oleh klaim keamanan nasional yang mereka pegang teguh. Israel berpendapat bahwa mereka perlu mengambil tindakan militer untuk melindungi warga negaranya dari serangan roket dan ancaman yang datang dari kelompok militan di Gaza, seperti Hamas. Kelompok Hamas sendiri sering melancarkan serangan roket ke wilayah Israel, yang kemudian dianggap oleh Israel sebagai tindakan agresi yang memerlukan respons balasan. Jadi, setiap kali ada serangan roket yang signifikan dari Gaza, ini bisa menjadi pemicu langsung bagi Israel untuk melancarkan operasi militer balasan. Namun, penting untuk dicatat bahwa apa yang dianggap sebagai "ancaman" oleh satu pihak bisa dilihat sebagai "perlawanan" oleh pihak lain, menambah kerumitan dalam memahami akar konflik ini.

Selain itu, dinamika politik internal di kedua belah pihak juga memainkan peran krusial. Di Israel, pemerintah seringkali menghadapi tekanan publik untuk menunjukkan ketegasan dalam menghadapi ancaman keamanan. Serangan militer terhadap Gaza bisa jadi merupakan cara bagi politisi Israel untuk mengukuhkan citra mereka sebagai pemimpin yang kuat dan mampu menjaga keamanan negara. Di sisi lain, kepemimpinan Hamas di Gaza mungkin juga menggunakan eskalasi kekerasan untuk mempertahankan relevansi politik mereka, baik di tingkat domestik maupun internasional, atau sebagai respons terhadap blokade yang semakin mencekik.

Blokade yang berkepanjangan terhadap Gaza juga menjadi faktor penting yang tidak bisa diabaikan. Sejak Hamas mengambil alih kekuasaan di Gaza pada tahun 2007, Israel, bersama dengan Mesir, memberlakukan blokade ketat di perbatasan darat, laut, dan udara. Blokade ini sangat membatasi pergerakan orang dan barang, termasuk kebutuhan dasar seperti makanan, obat-obatan, dan bahan bangunan. Akibatnya, Gaza mengalami krisis kemanusiaan yang parah, dengan tingkat pengangguran yang tinggi dan infrastruktur yang rusak. Banyak pihak berpendapat bahwa kondisi yang menyedihkan ini menciptakan lingkungan yang subur bagi munculnya kelompok-kelompok militan dan kemarahan yang meluas, yang pada gilirannya dapat memicu kekerasan.

Terakhir, tapi tidak kalah pentingnya, adalah peran aktor internasional dan kegagalan proses perdamaian. Komunitas internasional seringkali menyuarakan keprihatinan atas kekerasan yang terjadi, namun tindakan nyata untuk menekan kedua belah pihak agar menghentikan konflik dan kembali ke meja perundingan seringkali kurang efektif. Kegagalan dalam mencapai solusi politik yang adil dan berkelanjutan bagi kedua belah pihak terus melanggengkan siklus kekerasan. Selama akar masalah, seperti pendudukan wilayah Palestina dan hak-hak pengungsi, tidak terselesaikan, maka kemungkinan terjadinya serangan kembali akan selalu ada.

Jadi, ketika bertanya kenapa Israel kembali menyerang Gaza, kita perlu melihatnya sebagai sebuah lingkaran setan yang melibatkan keamanan, politik, kondisi kemanusiaan, dan kegagalan diplomasi. Ini bukan sekadar peristiwa tunggal, melainkan bagian dari konflik yang terus berlanjut dan memiliki banyak lapisan.

Akar Sejarah Konflik Israel dan Gaza

Guys, kalau kita mau ngerti kenapa Israel terus menyerang Gaza, kita wajib banget nih menggali akar sejarah konflik Israel dan Gaza. Ini bukan isu baru yang muncul tiba-tiba, melainkan pertempuran yang punya sejarah sangat panjang dan kompleks. Memahami sejarah ini penting banget biar kita nggak cuma lihat permukaannya aja. Konflik ini udah berlangsung puluhan tahun, bahkan bisa dibilang berabad-abad kalau kita lihat dari akar-akar awal perselisihan di wilayah tersebut.

Semuanya berawal dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika gerakan Zionis mulai mendapatkan momentumnya. Para pendukung Zionisme, yang mayoritas adalah orang Yahudi Eropa, mulai mencari tempat untuk mendirikan negara sendiri di tanah leluhur mereka, yaitu Palestina. Pada waktu itu, Palestina dihuni oleh mayoritas penduduk Arab Palestina. Imigrasi orang Yahudi ke Palestina mulai meningkat, terutama setelah Deklarasi Balfour dari Inggris pada tahun 1917 yang menyatakan dukungan Inggris terhadap pendirian 'rumah nasional Yahudi' di Palestina. Ini tentu saja menimbulkan keresahan di kalangan penduduk Arab Palestina yang merasa tanah mereka akan diambil.

Setelah Perang Dunia II dan Holocaust yang mengerikan, tekanan internasional untuk mendirikan negara Yahudi semakin kuat. PBB kemudian mengeluarkan Resolusi 181 pada tahun 1947, yang mengusulkan pembagian Palestina menjadi dua negara: satu negara Arab dan satu negara Yahudi, dengan Yerusalem berada di bawah administrasi internasional. Rencana pembagian ini ditolak oleh negara-negara Arab dan pemimpin Palestina, namun diterima oleh para pemimpin Yahudi. Tak lama setelah Inggris menarik pasukannya pada Mei 1948, Israel memproklamasikan kemerdekaannya. Hal ini memicu perang pertama antara Israel dan negara-negara Arab tetangga, yang dikenal sebagai Perang Arab-Israel 1948 atau Nakba (bencana) bagi bangsa Palestina. Perang ini menghasilkan kemenangan bagi Israel dan menyebabkan pengungsian besar-besaran ratusan ribu warga Palestina dari tanah mereka. Wilayah yang seharusnya menjadi negara Palestina dalam rencana PBB sebagian besar diduduki oleh Israel dan Yordania.

Peristiwa penting lainnya adalah Perang Enam Hari pada tahun 1967. Dalam perang singkat ini, Israel berhasil merebut Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur) dari Yordania, Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, serta Dataran Tinggi Golan dari Suriah. Sejak saat itu, Israel menduduki Jalur Gaza dan Tepi Barat, yang kemudian memicu pendudukan militer yang berlangsung hingga kini, meskipun Israel telah menarik pasukannya dari Gaza pada tahun 2005. Namun, kendali atas perbatasan, ruang udara, dan perairan Gaza tetap berada di tangan Israel, yang pada dasarnya masih mempertahankan blokade.

Konflik ini semakin diperumit dengan adanya pemukiman Yahudi yang terus dibangun di wilayah pendudukan, termasuk di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Pembangunan pemukiman ini dianggap ilegal menurut hukum internasional dan semakin memperkecil kemungkinan terbentuknya negara Palestina yang berdaulat dan layak. Bagi Palestina, tanah mereka terus menerus tergerus, sementara bagi Israel, keberadaan pemukiman ini dianggap sebagai bagian dari hak sejarah dan keamanan mereka.

Perjuangan Palestina, termasuk dengan munculnya Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan kemudian Hamas, terus berlanjut. Hamas, yang didirikan pada tahun 1987, memiliki pandangan yang lebih radikal dan menolak pengakuan terhadap Israel. Sejak mengambil alih kendali Gaza pada tahun 2007 setelah konflik internal dengan Fatah (fraksi utama PLO), Hamas telah menjadi target utama operasi militer Israel. Kelompok ini seringkali menggunakan taktik gerilya dan meluncurkan roket ke Israel, yang kemudian menjadi justifikasi bagi Israel untuk melancarkan serangan balasan yang seringkali menimbulkan korban jiwa yang jauh lebih besar di pihak Palestina.

Jadi, guys, ketika kita melihat serangan Israel ke Gaza, kita sedang melihat konsekuensi dari sejarah panjang pendudukan, pengusiran, penolakan hak, dan siklus kekerasan yang terus berulang. Tanpa memahami akar sejarah ini, kita tidak akan pernah benar-benar mengerti mengapa situasi di sana selalu memanas.

Faktor Keamanan dan Operasi Militer Israel

Nah, guys, kalau kita mau bicara soal kenapa Israel kembali menyerang Gaza, salah satu alasan paling sering disebut dan paling penting adalah faktor keamanan Israel. Ini adalah narasi utama yang selalu disampaikan oleh pemerintah Israel setiap kali mereka melancarkan operasi militer di Gaza. Mereka berargumen bahwa tindakan tersebut merupakan respons defensif terhadap ancaman yang datang dari kelompok militan di Gaza, terutama Hamas.

Israel seringkali mengutip peluncuran roket dari Gaza sebagai pembenaran utama untuk tindakan militer mereka. Kelompok seperti Hamas dan Jihad Islam Palestina secara berkala meluncurkan roket-roket rakitan atau yang lebih canggih ke wilayah Israel. Roket-roket ini, meskipun banyak yang berhasil dicegat oleh sistem pertahanan Iron Dome Israel, tetap menimbulkan ketakutan dan kerusakan di komunitas Israel, terutama yang berada di dekat perbatasan Gaza. Bagi Israel, serangan roket ini tidak bisa dibiarkan begitu saja karena dianggap sebagai serangan teroris yang mengancam keselamatan warga sipil mereka. Oleh karena itu, respons militer dianggap perlu untuk menghentikan atau setidaknya mengurangi kemampuan kelompok militan untuk melancarkan serangan semacam itu.

Operasi militer Israel di Gaza seringkali diberi nama kode, seperti 'Operation Protective Edge' pada tahun 2014 atau 'Guardian of the Walls' pada tahun 2021. Tujuan resmi dari operasi-operasi ini biasanya mencakup penghancuran infrastruktur militer Hamas, seperti terowongan serangan, fasilitas peluncuran roket, dan pusat komando. Israel juga seringkali menargetkan para pemimpin Hamas dan militan lainnya yang dianggap sebagai ancaman langsung. Mereka menggunakan teknologi canggih, termasuk serangan udara presisi, untuk melumpuhkan target-target militer ini.

Namun, perlu digarisbawahi, guys, bahwa operasi militer ini seringkali menimbulkan korban jiwa yang signifikan di kalangan warga sipil Palestina. Kepadatan penduduk di Gaza yang sangat tinggi, ditambah dengan fakta bahwa infrastruktur sipil seperti rumah sakit, sekolah, dan masjid terkadang berada di dekat atau bahkan di dalam area yang digunakan oleh kelompok militan, membuat sulit bagi Israel untuk melakukan serangan yang benar-benar bersih dari korban sipil. Akibatnya, setiap operasi militer Israel selalu diwarnai dengan kecaman internasional atas dugaan pelanggaran hukum humaniter internasional dan proporsionalitas serangan.

Selain itu, Israel juga menggunakan faktor keamanan untuk membenarkan blokade yang terus diberlakukan terhadap Gaza. Israel menyatakan bahwa blokade ini diperlukan untuk mencegah masuknya senjata dan material yang dapat digunakan oleh kelompok militan untuk melancarkan serangan. Namun, para kritikus berpendapat bahwa blokade ini lebih bersifat hukuman kolektif terhadap seluruh penduduk Gaza dan telah memperburuk krisis kemanusiaan di wilayah tersebut, yang pada akhirnya dapat menciptakan lebih banyak radikalisasi.

Di sisi lain, kelompok militan di Gaza juga memiliki alasan mereka sendiri. Mereka memandang tindakan militer mereka sebagai bentuk perlawanan terhadap pendudukan Israel dan blokade yang mereka anggap sebagai penindasan. Mereka mungkin melihat peluncuran roket sebagai cara untuk melawan kekuatan militer Israel yang superior dan menarik perhatian dunia terhadap penderitaan rakyat Palestina.

Jadi, ketika Israel kembali menyerang Gaza, ini adalah bagian dari siklus kekerasan yang dipicu oleh persepsi ancaman keamanan yang berbeda dari kedua belah pihak. Israel merasa perlu melindungi diri dari serangan, sementara kelompok militan di Gaza melihat tindakan mereka sebagai perjuangan untuk kebebasan dan penolakan terhadap pendudukan. Dan di tengah-tengah semua ini, selalu ada penderitaan warga sipil yang menjadi korban.

Respons Hamas dan Kelompok Militan Gaza

Oke, guys, sekarang kita beralih ke sisi lain dari koin. Kalau Israel menyerang, pasti ada respons dong, kan? Nah, respons Hamas dan kelompok militan Gaza terhadap serangan Israel ini adalah bagian tak terpisahkan dari kenapa konflik ini terus berlanjut. Penting banget buat kita paham bahwa kelompok-kelompok ini nggak cuma diam aja waktu mereka diserang. Mereka punya agenda, strategi, dan alasan mereka sendiri untuk melakukan perlawanan.

Hamas, yang secara resmi adalah Gerakan Perlawanan Islam Palestina, adalah pemain utama di Gaza. Sejak mengambil alih kendali wilayah itu pada tahun 2007, Hamas punya dua tujuan utama yang seringkali saling terkait: melawan pendudukan Israel dan membangun pemerintahan yang efektif di Gaza. Namun, metode yang mereka gunakan seringkali menimbulkan kontroversi. Salah satu metode perlawanan paling terlihat adalah peluncuran roket ke wilayah Israel. Roket-roket ini bervariasi dari yang sederhana dan jarak pendek hingga yang lebih canggih dengan jangkauan lebih jauh. Bagi Hamas, peluncuran roket ini dilihat sebagai cara untuk:

  1. Mencegah dan Membalas Agresi Israel: Ketika Israel melakukan serangan militer, meluncurkan roket adalah cara bagi Hamas untuk menunjukkan bahwa mereka tidak akan tinggal diam dan siap membalas. Ini adalah bagian dari strategi deterrence, meskipun efektivitasnya patut dipertanyakan mengingat ketidakseimbangan kekuatan militer.
  2. Mengganggu Kehidupan Israel: Dengan meluncurkan roket, Hamas berusaha untuk mengganggu kehidupan normal warga Israel, menciptakan rasa takut dan memaksa Israel untuk terus-menerus waspada. Ini juga bisa menjadi cara untuk menekan pemerintah Israel agar mengubah kebijakannya.
  3. Menarik Perhatian Internasional: Serangan roket yang menyebabkan korban atau kerusakan di Israel seringkali memicu respons internasional yang lebih besar, yang bisa digunakan Hamas untuk menarik perhatian dunia pada situasi di Gaza dan perjuangan Palestina.

Selain peluncuran roket, Hamas dan kelompok militan lainnya juga dikenal menggunakan taktik gerilya dan serangan bawah tanah. Pembangunan terowongan bawah tanah yang rumit, baik untuk tujuan serangan infiltrasi ke Israel maupun untuk pergerakan di dalam Gaza, adalah salah satu ciri khas operasi mereka. Taktik ini memungkinkan mereka untuk menghindari deteksi dan menyerang pasukan Israel secara tak terduga.

Penting juga untuk diingat, guys, bahwa ada lebih dari sekadar Hamas di Gaza. Ada kelompok-kelompok militan lain yang lebih kecil, seperti Jihad Islam Palestina (PIJ), yang seringkali memiliki agenda dan taktik yang serupa, kadang-kadang bahkan lebih radikal. PIJ, misalnya, dikenal sebagai salah satu kelompok yang paling gigih dalam meluncurkan roket ke Israel dan seringkali tidak terlalu tertarik pada negosiasi politik dibandingkan Hamas. Sinergi antara kelompok-kelompok ini, meskipun kadang ada ketegangan internal, seringkali membuat respons terhadap Israel menjadi lebih terkoordinasi.

Namun, respons militer dari kelompok-kelompok ini juga datang dengan konsekuensi yang sangat berat bagi rakyat Palestina sendiri. Ketika mereka melancarkan serangan, itu hampir pasti akan memicu respons militer Israel yang jauh lebih kuat, yang kemudian menimbulkan korban jiwa dan kehancuran di Gaza. Selain itu, operasi militer ini juga seringkali digunakan oleh Israel untuk membenarkan blokade yang mencekik, yang semakin memperburuk kondisi kehidupan di Gaza.

Dari sudut pandang kelompok militan, mereka mungkin melihat perjuangan bersenjata ini sebagai satu-satunya cara yang tersisa untuk melawan pendudukan dan blokade yang mereka anggap ilegal dan tidak manusiawi. Mereka mungkin juga melihatnya sebagai kewajiban agama atau nasional untuk melawan musuh.

Jadi, ketika kita bertanya kenapa Israel kembali menyerang Gaza, kita tidak bisa melupakan fakta bahwa ada pihak lain yang merespons dengan cara mereka sendiri, menggunakan taktik perlawanan bersenjata. Respons inilah yang kemudian menjadi lingkaran setan kekerasan, di mana setiap tindakan memicu reaksi, dan korban terbanyak selalu jatuh pada rakyat sipil di kedua belah pihak.

Dampak Kemanusiaan dan Krisis di Gaza

Guys, kalau kita ngomongin kenapa Israel kembali menyerang Gaza, kita nggak bisa tutup mata dari dampak kemanusiaan dan krisis yang melanda Gaza. Setiap kali terjadi serangan besar-besaran, penderitaan rakyat sipil di sana selalu menjadi korban utama. Gaza adalah salah satu wilayah terpadat di dunia, dan hampir seluruh penduduknya bergantung pada bantuan luar untuk bertahan hidup.

Bayangin aja, guys, di tengah blokade yang sudah berlangsung bertahun-tahun, akses terhadap kebutuhan dasar seperti listrik, air bersih, dan layanan kesehatan sudah sangat terbatas. Blokade ini, yang diberlakukan oleh Israel dan Mesir sejak 2007, sangat membatasi masuknya barang-barang penting, bahan bakar, dan akses bagi orang untuk keluar masuk Gaza. Akibatnya, ekonomi Gaza hancur lebur. Tingkat pengangguran sangat tinggi, terutama di kalangan anak muda, dan kemiskinan merajalela. Pasokan listrik seringkali hanya tersedia beberapa jam sehari, memaksa rumah sakit dan fasilitas penting lainnya untuk bergantung pada generator yang mahal dan terkadang tidak dapat diandalkan.

Ketika serangan militer terjadi, situasinya menjadi jauh lebih buruk. Infrastruktur sipil seperti rumah sakit, sekolah, pembangkit listrik, dan sistem pengolahan air seringkali menjadi sasaran atau rusak parah akibat serangan udara dan artileri. Ribuan orang terpaksa mengungsi dari rumah mereka, mencari perlindungan di tempat-tempat yang seringkali tidak aman atau tidak memadai. Kehilangan tempat tinggal, trauma psikologis, dan hilangnya orang-orang terkasih adalah luka mendalam yang dialami oleh banyak warga Gaza, terutama anak-anak.

Krisis kesehatan di Gaza juga sangat mengkhawatirkan. Dengan sistem kesehatan yang sudah rapuh akibat kurangnya pasokan medis, obat-obatan, dan tenaga ahli, serangan militer semakin memperburuk keadaan. Pasokan medis yang terbatas, kerusakan fasilitas kesehatan, dan sulitnya pasien untuk mendapatkan perawatan di luar Gaza jika diperlukan, semuanya berkontribusi pada angka kematian dan penderitaan yang tinggi. Anak-anak seringkali menjadi kelompok yang paling rentan, menderita malnutrisi, trauma, dan masalah kesehatan mental yang parah.

Selain itu, ada juga isu lingkungan yang serius. Kerusakan infrastruktur, termasuk sistem pembuangan limbah, seringkali menyebabkan polusi air dan tanah yang parah, yang kemudian berdampak pada kesehatan masyarakat dan pertanian di Gaza.

Para kritikus seringkali berpendapat bahwa blokade dan operasi militer Israel secara efektif menciptakan kondisi penjara terbuka di Gaza, di mana jutaan orang terjebak tanpa harapan dan dengan sedikit akses ke dunia luar. Meskipun Israel berdalih bahwa tindakan mereka diperlukan untuk keamanan dan untuk mencegah Hamas menggunakan sumber daya untuk tujuan militer, dampak kemanusiaan yang ditimbulkannya sangatlah besar dan seringkali dianggap tidak proporsional.

Jadi, ketika kita melihat serangan Israel ke Gaza, kita harus selalu ingat bahwa di balik berita tentang baku tembak dan manuver militer, ada jutaan manusia yang hidup dalam kondisi yang sangat sulit, terjebak dalam lingkaran kekerasan yang seolah tak berujung. Krisis kemanusiaan ini bukan hanya sekadar efek samping, tapi merupakan bagian integral dari konflik yang terus menerus terjadi dan memperburuk penderitaan rakyat Palestina di Gaza.

Kegagalan Diplomasi dan Jalan Menuju Perdamaian

Terakhir, tapi tentu saja nggak kalah penting, guys, adalah faktor kegagalan diplomasi dan jalan yang berkelok-kelok menuju perdamaian dalam konflik Israel-Gaza. Ketika kita bertanya kenapa Israel kembali menyerang Gaza, salah satu jawaban mendasarnya adalah karena tidak ada solusi politik yang memadai dan berkelanjutan yang berhasil dicapai.

Upaya-upaya perdamaian telah dilakukan berkali-kali selama puluhan tahun. Ada berbagai inisiatif, mulai dari negosiasi langsung antara Israel dan Otoritas Palestina, mediasi oleh Amerika Serikat, hingga peran Uni Eropa dan negara-negara Arab. Namun, semua upaya ini seringkali menemui jalan buntu. Kegagalan ini disebabkan oleh banyak faktor yang saling terkait. Pertama, ketidakpercayaan yang mendalam di antara kedua belah pihak. Setiap pihak merasa dikhianati oleh pihak lain di masa lalu, sehingga sulit untuk membangun kredibilitas dan komitmen terhadap kesepakatan damai.

Dua isu utama yang selalu menjadi batu sandungan adalah status Yerusalem dan hak kembali pengungsi Palestina. Israel menganggap seluruh Yerusalem sebagai ibu kotanya yang tak terbagi, sementara Palestina menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara mereka di masa depan. Begitu juga dengan jutaan pengungsi Palestina yang terusir dari tanah mereka pada tahun 1948 dan 1967; mereka menuntut hak untuk kembali, sebuah tuntutan yang ditolak keras oleh Israel karena akan mengubah demografi negara Yahudi tersebut.

Selanjutnya, masalah pemukiman Israel di Tepi Barat juga menjadi penghalang besar. Pembangunan pemukiman ini terus berlanjut meskipun dikutuk oleh komunitas internasional, dan dianggap ilegal menurut hukum internasional. Pemukiman ini memecah-belah wilayah Palestina, menghambat pergerakan, dan membuat pembentukan negara Palestina yang berdaulat dan layak menjadi semakin sulit.

Selain itu, perbedaan pandangan mengenai keamanan Israel dan negara Palestina yang merdeka juga sangat fundamental. Israel menuntut jaminan keamanan yang kuat, sementara Palestina menginginkan kedaulatan penuh dan tidak adanya pendudukan militer di wilayah mereka.

Dalam konteks Gaza, situasi semakin rumit karena adanya Hamas, yang tidak mengakui Israel dan seringkali menolak untuk berdialog langsung dengan mereka. Hal ini membuat negosiasi menjadi lebih sulit, karena Israel enggan berbicara dengan kelompok yang mereka anggap sebagai teroris.

Akibat dari kegagalan diplomasi ini adalah terus berlanjutnya status quo yang penuh kekerasan. Serangan roket dari Gaza memicu serangan balasan dari Israel, dan siklus ini terus berulang, tanpa ada jalan keluar yang jelas. Setiap eskalasi kekerasan semakin menjauhkan kedua belah pihak dari perdamaian dan semakin memperdalam jurang ketidakpercayaan.

Komunitas internasional sendiri seringkali terpecah belah dalam pendekatannya terhadap konflik ini, dan kurangnya kemauan politik yang kuat untuk menekan kedua belah pihak agar kembali ke meja perundingan seringkali membuat upaya perdamaian menjadi sia-sia. Tanpa adanya terobosan diplomatik yang signifikan yang mengatasi akar masalah, kemungkinan terjadinya serangan kembali ke Gaza, dan siklus kekerasan yang menyertainya, akan selalu ada. Jalan menuju perdamaian di sana memang sangat panjang dan penuh rintangan, guys.